Pertempuran pertama pun dimulai di ruang tamu. Aan dan saya sudah
bertelanjang bulat dengan penis ngaceng. Duduk dengan santai, Aan
sengaja mengencang-ngencangkan penisnya sehingga batang itu nampak
berkedut-kedut dengan liar. Precum yang dilelehkan keluar terperangkap
dalam kondom. Dengan lembut, Aan menolongku duduk di atas batangnya.
Mula-mula terasa sulit karena batang Aan tak pernah gol. Tapi setelah
lubangku ditemukan, batang itu langsung menghunjam masuk.
Bleess..
"Aahh.." desahku, wajahku agak meringis, sakit bercampur nikmat.
Segurat kekhawatiran nampak di wajah Aan. Tapi karena saya sudah mulai
melenguh-lenguh dengan nimat, Aan mulai mempenetrasiku. Penisnya yang
perkasa itu pun mulai bergerak masuk lebih dalam.
"Aarggh.." desahnya, napasnya tersembur ke wajahku.
Namun, dengan cepat, batangnya dimundurkan keluar. Lalu dimasukkan
kembali, begitu seterusnya, dengan ritme tetap dan mantap. Batang
kelaki-lakiannya membawa sejuta kenikmatan yang tak terkatakan. Dengan
bentuk penisnya yang agak bengkok, secara anatomi, prostatku jarang
tersentuh. Untuk merangsangnya, Aan harus memiringkan tubuhnya agar
penisnya dapat menyapa prostatku. Tapi dalam anus terdapat berjuta-juta
sel syaraf. Jika mereka terangsang, kenikmatan tetap akan datang. Dan
itulah yang sedang kualami.
"Oohh.. Aan.. Enak banget.. Oohh.. I love you.. Aahahh.. Fuck me.. Aarrgghh.."
Saya berusaha meringankan tubuhku agar Aan dapat lebih mudah dan
leluasa memasuki tubuhku. Dengan kedua tangannya yang kuat, Aan
mengangkat dan menurunkan tubuhku. Dua keuntungan sekaligus: melatih
otot dan kenikmatan seksual. Napsnya terdengar semakin berat saat rasa
letih mulai mendatanginya.
Namun nafsunya tetap berkobar dan Aan tetap semangat bersetubuh
denganku. Kami berdua seperti sepasang bintang porno homoseksual yang
terbakar libido. Kami mengerang dan saling berciuman, tangan kami
meraba-raba, dunia serasa milik kami berdua saja.
"Aarrgghh.. Oohh.." desah Aan, matanya terpejam sementara bibirnya asyik menciumiku.
Eranganku tak kalah hebat dibanding erangannya.
"Oohh.. Yyeeaahh.. Aan.. Fuck me.. Oohh.. Fuck.. Aarrgghh.."
Bibir kami saling berpagutan seperti ular dan tangan kami sibuk
meremas dan meraba. Semakin saya menyemangatinya, semakin Aan bernafsu.
Oh, dia memang sungguh jantan! Tubuh kami berguncang-guncang mengikuti
irama persetubuhannya. Akal sehat kami hilang dan yang tersisa hanyalah
hasrat untuk saling memuaskan dan untuk dipuaskan. Penisku basah dan
licin dengan precum. Sebagian mengenai dada Aan yang padat berisi;
sebagian dengan otot dan sisanya dengan lemak. Dadanya begitu enak
untuk diremas-remas.
Kebetulan dada adalah bagian yang paling kusuka dari seorang pria,
apalagi yang berisi. Kedua puting Aan yang agak lebar dan berwarna
kecoklatan juga tak luput kumainkan. Dari semua pria yang pernah
meniduriku, Aan-lah yang paling kusuka. Tiba-tiba, Aan bangkit dari
sofa. Kaget, saya berpegangan erat-erat pada tubuhnya. Kedua tanganku
kulingkarkan di lehernya dan kedua kakiku pada pinggangnya. Saat sudah
berdiri dengan sempurna, meski agak kepayahan karena harus mengangkat
tubuhku, Aan mulai melakukan penetrasi. Pinggulnya mulai bekerja,
maju-mundur. Alhasil penisnya pun juga ikut bergerak masuk dan keluar.
Kami berdua serentak mendesah-desah akibat rasa nikmat yang kami
dapatkan.
"Aarrgghh.. Hhoohh.. Uugghh.. Aahh.."
Tangan Aan dengan kuat memegangi tubuhku. Kurasakan otot-ototnya
berkontraksi dengan hebat, sungguh macho. Terus-menerus kuerangkan
namanya.
"Aan.. Oohh.. Aan.."
Meski gaya penetrasi ini asyik, tapi butuh banyak tenaga sehingga
Aan dan saya langsung lemas. Akhirnya kami putuskan untuk mengganti
gaya. Saat Aan mencabut penisnya dengan perlahan, saya mendesah-desah,
menikmatinya. PLOP! Batang kejantanannya sudah tercabut keluar. Wajah
Aan nampak cemas melihat kondomnya yang agak kemerahan.
"Sayang? Kamu berdarah?" Kugeleng-gelengkan kepalaku.
"Tidak, kok. Kalo berdarah, pasti sakit. Sedangkan saya gak merasa
sakit sama sekali. Malahan enak banget." Kucoba untuk menenangkannya.
"Tapi tadi mukamu meringis-ringis kesakitan. Saya jadi takut."
Aan-ku yang baik memang sangat perhatian. Dia tak mau melukaiku
dengan batangnya. Saya yakin, jika saya benar-benar terluka pada saat
itu, Aan pasti akan lebih memilih untuk tidak melanjutkan persetubuhan
sejenis yang belum usai.
"Saya meringis bukan karena sakit, tapi karena nikmat. Enaknya tak
terkira. Dan soal bercak kemerahan itu, mungkin aja 'ee'-ku. Sudahlah,
sayang. Jangan khawatir. Saya gak 'Pa-Pa, kok."
Kucium bibirnya yang seksi itu dan kami pun kembali terkunci dalam
ciuman maut. Selain kepribadiannya yang baik, wajahnya yang rupawan,
dan dadanya yang berisi, saya sangat tertarik apda bibirnya. Bibir Aan
agak tebal dan seksi. Tebal di sini bukan berarti dower seperti Mandra.
Tapi tebalnya bibir Aan itu proposional dan enak untuk dicium. Bibirnya
mengingatkanku pada bibir salah satu kontestan pria Indonesian Idol.
Menurutku sih, bibir Aan agak mirip dengan bibir milik Lucky Octavian.
Dan nampaknya Aan juga berpikir demikian. Saya sering tersenyum sendiri
bila memikirkan hal itu. Mungkin karena itulah, dari semua peserta,
saya paling suka dengan Lucky. Tapi bagaimana pun juga, Aan jauh lebih
tampan daripada Lucky.
Persenggamaan kami berlanjut di kamar tidur. Saat itu adalah saat
pertama kalinya Aan dan saya bercinta di atas ranjangku. Bagiku, hal
itu penting sekali karena saya merasa seolah-olah sedang menjalani
malam pertamaku dengannya. Dengan pasrah, dan tentunya bahagia, saya
berbaring telentang di ranjang. Sebuah guling diselipkan Aan di bawah
punggungku. Tanpa ragu, kubuka selangkanganku. Dan tereksposlah lubang
anusku yang berkedut-kedut. Sisa-sisa lotion masih melekat di daerah
pantatku, namun Aan mengoleskan lagi sejumlah lotion. Setelah semuanya
siap, Aan mulai memasuki tubuhku.
"Aarrgghh.." desah Aan-ku saat kemaluannya kembali mengoyak anusku.
PLOP! Tanpa kesulitan yang berarti, penisnya masuk seluruhnya. Dan
bersarang di dalamnya. Kehangatan mulai menyebar dan merasuki tubuhku.
Oh, nikmatnya disetubuhi oleh pria yang kita puja.
"Oohh.. Gimana, sayang? Enak?" tanya Aan, megap-megap menahan nikmat. Dengan desahan nikmat, kujawab.
"Enak, sayang.. Aahh.. Enak banget.. Oohh.. Fuck me.. Aarrgghh.."
Kuremas-remas dadanya untuk menunjukkan betapa saya sedang terbakar
libido. Aan mengerti dan langsung saja mempenetrasiku dengan ritme
tetap. Penisnya keluar masuk dalam kecepatan yang sama, seakan seperti
mesin yang sudah diatur. Sodokannya kuat dan nikmat, mampu merangsang
setiap sel syaraf di dalam duburku.
"Oohh.." erangku, panjang.
Tubuhku terguncang-guncang mengikuti irama penetrasinya. Penisku
yang tegang nampak agak melambai-lambai, akibat dari
guncangan-guncangan itu. Percikan precumku menyebar ke mana-mana.
Sementara itu keringat mulai membanjiri tubuh kami. Namun keringat
Aan-lah yang paling banyak. Tubuh Aan yang seksi itu mengkilap-kilap.
Tetesan-tetesan keringatnya jatuh ke atas tubuhku. Bagiku, hal itu
seksi sekali.
Aan makin bernafsu untuk menuntaskan hasratnya. Semakin dia menggenjot
tubuhku, semakin keras eranganku. Bukan karena sakit, melainkan karena
rasa nikmat yang tak terlukiskan. Kutatap wajah Aan yang basah
berkeringat. Dia tersenyum padaku dan memberiku hadiah sebuah ciuman.
Oh, Aan selalu berhasil membiusku dengan ciumannya. Saya merasa tak
berdaya tiap kali dia memeluk atau menciumiku. Dengan kuatnya, Aan
menarik tubuhku mendekat agar penisnya amblas lebih dalam lagi. Saya
hanya dapat mengerang, terasa nikmat sekali.
"Aahh.. Hhoohh.. Aahh.." Kejantanan Aan membuatku mabuk dengan nafsu. Saya hanya ingin disodomi terus-menerus.
"Aahh.. Yyeeaahh.. Fuck me.. Oohh.. Aahh.." Napasku tak beraturan, terasa berat.
Genangan precum di pusarku sudah penuh dan akhirnya mengalir
menuruni sisi perutku. Saya sungguh tak kuat lagi, merasa ingin
berejakulasi.
"Aahh.. Aan.. Uugghh.. Mau keluar.. Uugghh.."
Jantungku berdegup kencang saat orgasmeku hampir menjelang. Tapi
akal sehatku mencegahku. Bagaimana jika cairan spermaku tertumpah ke
ranjang? Orangtuaku pasti tahu. Aan rupanya juga mengerti, maka dia
berhenti menyodomiku. Dengan lembut, Aan membimbingku ke kamar mandi.
Di sana, saya dapat menumpahkan spermaku sepuasnya.
Setelah mencabut kondom, Aan mulai merangsangku. Penisnya yang setengah
tegang itu digesek-gesekkan di belahan pantatku, seolah sedang
menyodomiku. Terasa precumnya menempel di pantatku. Memejamkan mataku,
saya mengocok penisku seagresif mungkin. Satu yang ada di benakku,
ejakulasi. Orgasmeku yang tadi sempat terputus kini mulai dibangun
kembali. Pelan tapi pasti, tekanan di dalam buah zakarku mulai
meningkat. Hal itu berpengaruh pada irama napasku yang mulai menjadi
berat.
"Hhoohh.. Aan.. Hhoohh.. Mau keluar.. Oohh.. Aahh.."
"Ya, keluarkan saja, sayang. Jangan ditahan. Semprotkan saja. Ayo, Endy sayang, semprotkan pejuhmu.. Aahh.. I love you.."